Selasa, 03 Desember 2013

Cerpen



Masa Kecilku

Hujan di sore itu mengingatkan pada masa kecil bersama sahabat-sahabat kecilku dulu, dimana hujan adalah alarm untuk bermain dan bergembira.

Katakanlah hujan-hujanan, dimana esoknya kita demam menggigil, dimarahi orang tua, dan tidak masuk sekolah karena flu. Hanya obat flu dan teh manis hangat yang menjadi teman setelah kejadian itu.

Tak ada rasa menyesal, tetapi malah ingin mengulangi kembali hal itu. Tertawa lepas bersama teman – teman, bermain bola ditengah hujan, berlari – lari riang gembira alangkah indahnya masa kecilku dulu.




Mungkin masa kecilku mirip seperti foto diatas, dimana pada waktu itu tak mungkin aku mem-foto kejadian ketika hujan-hujanan karena tidak terpikir olehku untuk mengunggah suatu kejadian ke media sosial. Mengingat, dulu, aku lebih sering menghabiskan waktu di dunia nyata, daripada dunia maya.

Atau mungkin, waktu itu aku belum mengerti tentang dunia maya?

Entahlah …. Tidak ada hal yang membebani pikiranku pada saat itu, aku tidak begitu peduli dengan dunia maya.

Dan ketika hujan sudah reda, kita kembali ke rumah dengan rasa was-was takut dimarahi Ibu.
Entah karena tradisi atau semacam kebiasaan, adzhan maghrib adalah bel kembali ke rumah, tak kenal apa agamamu, tak kenal apa warna kulitmu, tak kenal dari mana asalmu. Ketika adzan maghrib berkumandang, seolah menjadi tanda bahwa permainan hari ini telah usai dan kami harus segera bergegas pulang.

Aku rindu masa kecilku dulu, masa-masa yang telah lama aku tinggalkan. Masa kecil yang penuh kenangan menyenangkan karena yang menyakitkan tak pernah mau ku kenang, atau memang sebenarnya tak ada yang menyakitkan?, entahlah yang kuingat saat itu hanya berlari dan tertawa riang gembira bersama kawan – kawan.

Bertempat tinggal di desa membuatku mempunyai banyak teman sepermainan waktu itu. Tentunya teman tanpa rekayasa, gak seperti jaman sekarang kebanyakan teman udah kayak sinetron, penuh rekayasa.


12:00 WIB. Bel pulang sekolah berbunyi.

Berarti. It’s time to rock!!

“Makan dulu baru maen,” kata Mama, waktu itu.

“Ya maaaaaaaaaaaa,” jawabku, sambil mengambil nasi ke piring, kehilangan satu menit saja jam main pada waktu itu seperti sudah seharian tidak buka Twitter dan Facebook.

Tanpa sebuah komunikasi lewat handphone apalagi dunia maya, kita berkumpul dengan lengkap dan tanpa ngaret. Sungguh luar biasa, walaupun tanpa handphone kita tetap manusia paling bahagia.

Tempat bermain kita tidak menetap, kita punya banyak lahan untuk bermain. Bermain bola tanpa garis batas itu hal biasa yang kita lakukan, mengingat berhektar-hektar lahan kosong, di desa kita.

Sedih rasanya ketika tempat tanpa kemunafikan itu sudah berbentuk beton, ketika uang bisa membeli alam. Remaja sekarang lebih memilih merasa hijau karena uang bukan karena Alam, padahal alam menyajikan apa yang tidak bisa dibeli dengan uang.


Hampir setiap hari aku bermain dengan teman-temanku, mereka ada banyak sekali. Kadang mereka membuatku tertawa, kadang menangis. Tapi semuanya bagiku indah, semua yang aku lakukan bersama teman-teman kampungku. Tak ada sedikit pun rasa dendam waktu itu.

Kami juga suka menyatu dengan alam, dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Meski terik matahari begitu panas menyengat kami tak peduli. Kami adalah sahabat matahari, tak ada yang perlu di takuti.

Lahan sawah yang baru di panen, serta habis diguyur air hujan juga tempat favorit kita untuk bermain. Membentuk semacam danau. Tepatnya, semacam got berukuran besar. Pulang dengan gatal-gatal, dan baju putih yang memudar. Dan sebuah omelan. Hal itu sangat menyenangkan.

Bagiku, mancing mania mah, gak ada kerennya. Mereka Cuma mancing, terus dapet ikan gede, terus dikembaliin. Kita! Nyebur kali, terjun langsung ke lapangan (makanya kita-kita cocok jadi pejabat, uhuk.), tanpa mengenal gatal maupun rishi dengan kotoran. Masa kecil yang tak terlupakan.

Aku terkadang merasa kasihan sama anak kecil jaman sekarang, masih kecil tapi udah di kasih gadget, gak ada kerennya sama sekali. Mereka berhak berkeringat, mereka berhak berteman dengan alam, mereka berhak tertawa bersama di tanah lapang, beriringan dengan bunyi burung-burung perkutut.

Zaman sudah berubah, kasihan anak kecil jaman sekarang yang banyak makan lagu cinta, bukannya makan kasih sayang. Pernah suatu ketika aku melihat anak kecil di TV yang sangat histeris sampai nangis karena ingin ketemu Coboy Junior. Aneh, hal yang tidak pernah kualami waktu kecil dulu.


Pada akhirnya tulisan ini hanyalah sebuah nostalgia, dimana tidak mungkin kita kembali ke masa lalu, kecuali reinkarnasi. Masa kecil memang menyenangkan, tetapi masa depan harus jauh lebih menyenangkan karena hidup cuma sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar