Puisi
Lutfi
Mardiansyah
DI TERRACE CAFÉ
:
kepada Vincent van Gogh
Setiap
malam, kita memenuhi
gelas-gelas
dengan kekosongan.
2013
KALIKA MELANCTHA
Memandang matamu,
mendengar
dengung di udara.
Seekor lebah mendengung dari jauh.
Sebuah tenung, membuatnya
melesat, menziarahi
lekuk-lengkung lembah.
Sebab ia menangkap isyarat
pada ladung langit.
Memanggil lewat senyap,
sesuatu seperti gemerincing
lonceng lili lembah
di keheningan hutan,
miliaran genta melepas gema,
menyusun vista demi vista,
ketika kau berkedip.
Lahirlah kembali surga
yang lenyap;
yang gapuranya alis matamu,
yang penuh ditumbuhi
mawar hitam—matamu,
suaka suci bersuhu sejuk
dengan curah
hujan yang bijak.
2014
MENCARI MABUKMU
Aku
mencarimu
di
antara kepulan asap mariyuana,
di
antara kaleng-kaleng minuman soda,
botol-botol
bir, sloki-sloki wiski,
pada
mabuk yang mengajakku masuk
ke
dalam mimpi-mimpi yang retak,
menemukan
diriku sendiri suntuk
menenggak
bergalon-galon arak
sampai
sempoyongan jalanku, mencari
pintu
keluar dari segala kejaran ilusi;
mencari
sajadah di masjid-masjid jami,
mencari
altar-altar pemberkatan
di
katedral-katedral minggu pagi.
Aku
mencari mabuk
yang
‘kan membawaku ke dalam pelukmu,
seperti
mabuk Li Po di puncak gunung,
seperti
mabuk Hallaj di tiang gantung.
Aku
mencarimu di antara tuts piano
dan
improvisasi saksofon, barangkali suaramu
terselip
dalam sebuah komposisi.
Tetapi
biduan yang menirukan suara
Ella
Fitzgerald itu, menyeret menyudutkanku
ke
gang-gang gelap waktu, di antara
tembok-tembok
bata merah yang ditatah
disusun
sejarah. Aku terjebak dalam dunia
yang
bising dan dengungmu makin jauh.
Di
antara asap mariyuana,
pada
kaleng-kaleng minuman soda, aku sibuk
sendawa,
mabuk dan tergelak. Di antara
botol-botol
bir dan sloki wiski, kutulis
puisi-puisi
sempoyongan, yang mencari jalan
keluar
dari penjara kata-kata, mencari jalan
setapak
demi menjadi doa-doa. Mabukku
belum
seberapa, belum sampai pada mabukmu
yang
murni. Aku masih berkeliaran di antara
rumah-rumah
ibadah dan kedai minum yang gerah.
Aku
mabuk mencarimu, tetapi belum juga kita
berjumpa
dalam mihrab, meja mabuk yang sama.
2014
BELAJAR BERKEBUN
Aku
ingin belajar berkebun, belajar sabar
mencintaimu.
Menerima sehampar
tanah
hitam yang ditinggalkan musim dingin,
selepas
salju mencair.
Mencintaimu
adalah menghimpun
udara
hangat, seraya
mempersembahkannya
sebagai sesaji
kepada
kecambah.
Cinta,
sebagaimana bunga-bunga,
tak
tumbuh dalam semalam.
Mencintai
adalah kerelaan menanti tunas tugur,
menciptakan
daunnya selembar hari ini,
selembar
esok hari ...
Mencintai
adalah memberikan seluruh waktu
bagi
sekuntum kembang yang takkan abadi.
Aku
ingin belajar berkebun, belajar ngungun
mencintaimu.
Memberikan suam
musim
semiku, untuk berduka di musim gugur,
untuk
sendiri di musim dingin,
disalib
salju.
2014
ORIGAMI
Bulan sedan
pada gramofon
yang monoton.
Di
sebuah jendela seseorang menggantung origami dari kertas krem
yang
ditulisi puisi—ia akan tak mendapatkan pohon musim semi
atau
iring-iringan migrasi, hanya kabel yang gigil dan pagi yang pudar
dari
kalender yang gemetar, dan dinding alabaster yang menyimpan
gema
musim gugur.
Pada
bagian coda Simfoni Ketiga, ia
putuskan untuk tak berdoa,
sebab
salju akan putih—putih yang biasa.
Untuk
menulis sebuah puisi dan melipatnya menjadi kolibri,
ia
musti berpaling dari langit yang itu-itu juga, di mana
frasa
pertama adalah sesuatu tentang warna dan makna kedua,
mungkin
biru lazuardi atau merah kirmizi.
Barangkali
hidup hanya siklus, sebuah schedule,
di mana bulan pun
akan
kekal, akan tak kekal, di mana salju selalu putih pada gilirannya,
dan
ia akan kembali menulis puisi, melipatnya menjadi kolibri
yang
akan tak mendapat migrasi, kecuali sebuah jendela tertutup,
terkunci,
dan abu November,
sebuah
rapsodi.
2013
MENGELUS RAMBUTMU
Lembut
yang kuingat
pada
rambutmu
adalah
kegelapan tanpa nama,
sebelum
terang terbentuk
dari
taklimat pertama.
Tapi
aku ingin melupakan segala sabda.
Aku
ingin lupa bahwa kita
memiliki
mulut untuk mengucap
mengujarkan
cinta.
Aku
hanya ingin tidur, berbaring
di
sisimu, mengelus rambutmu
seperti
mencari pangkal penciptaan,
pada
sabtu yang tak sibuk.
Aku
hanya ingin tidur,
berbaring
di sisimu tanpa sabda.
Aku
hanya ingin mengelus rambutmu,
kegelapan
tanpa nama,
sebelum
sesuatu menyala
di
ayat ketiga;
sebelum
cakrawala diletakkan
di
antara alas air singgasana
Tuhan
dan ornamen ombak,
pada
batas tegas samudra
di
bumi dan di udara,
ikan-ikan
dan burung-burung dipisahkan.
Aku
ingin menghapus hari kedua,
menghapus
cakrawala.
Aku
ingin menghapus cahaya,
menumpahkan
laut di langit
ke
cawan-cawan samudra, mangkuk ba.
Aku
hanya ingin tidur,
berbaring
di sisimu tanpa cahaya,
pada
ranjang yang tak ada.
Aku
hanya ingin mengelus rambutmu,
berenang
dan terbang,
pada
laut dan langit yang belum
diciptakan.
2014
TERINGAT RUBAIYAT KHAYYAM
I
Teringat rubaiyat Khayyam
begitu mendapati tulip tumbuh
di pipimu yang tersipu;
seolah
seluruh musim gugur memujamu
dengan
luruhan daun-daun
yang
jatuh ngungun, tanpa suara;
seolah
seluruh musim semi memujimu
dengan
tunas yang tugur
dari
keramahan rahim tanah;
seolah
seluruh musim panas menyanjungmu
dengan
kehangatan udara
dan
cahaya yang bersahaja;
seolah
seluruh musim dingin mencintaimu
dengan
bunga-bunga putih pasi,
kelopak
kembang kristal salju.
II
Teringat rubaiyat Khayyam
begitu mendapati warna anggur
di bibirmu yang tersenyum;
O,
adakah yang lebih mabuk dari dahaga penyair
yang
puisi-puisinya ingin kaucium?
Adakah
yang lebih lapar dari pikiran penyair
yang
sajak-sajaknya ingin kaupeluk?
Maka
ciumlah, kekasih, peluklah kata-kata ini.
Bibirmu
akan teramat dekat dari degup
jantungku,
menjelma denyut di puisi yang mencari
urat
nadinya pada ranum senyummu,
mencari
ruhnya pada warna anggur bibirmu.
Wahai
yang selembut sayap malaikat.
III
Teringat rubaiyat Khayyam
begitu mendapati kecantikan Tuhan
pada kejelitaanmu.
2014
Profil
Penulis